Hubungan erat antara kesultanan Bima-Goa telah terjalin lama sejak Raja La Kai masuk Islam menjadi Sultan Pertama Bima dengan nama muslim Abdul Kahir. Sejak tahun 1640 Kerajaan Bima berubah menjadi Kesultanan dengan Islam sebagai ajaran resmi istana. Pada saat terjadi kudeta oleh La Salisi Mantau Asi Peka, VOC berkepentingan untuk menyokong gerakan ini dalam membendung arus Islamisasi Nusantara kawasan Timur terutama Bima, maka kesultanan Goa-lah (Era Sultan Alaudin Awalul Islam) yang berhasil mematahkan pemberontak sehingga keraton Bima berhasil direbut kembali dan tata pemerintahan berdasar Syariah mulai diletakkan. Sehingga sangat logis bila VOC memandang bahwa ikatan keislaman antara dua kekuasaan inilah menjadi ganjalan terbesar misi kolonialismenya. Menarik untuk disimak bagaimana akhirnya VOC menundukkan Bima setelah pecah kongsi dengan kesultanan Goa era Sultan Hasanuddin.
Setelah Abdul Kahir sang perintis Islamisasi Bima wafad tahun 1640, kekuasaannya digantikan oleh putranya Abdul Khair Sirajuddin, seorang pemuda yang pada awalnya lebih condong pada tata praja lama ketimbang sistem kesultanan sehingga dicap sebagai pemimpin yang pro-sistem jahiliah. Kitab BO mengatakan bahwa Abduk Khair ini mulanya adalah pembangkang pada siar Islam namun kemudian tobat dihadapan banyak ulama besar bekas kolega ayahnya.
Setelah matang dalam kepemimpinan dia menjadi sultan yang amat taat beribadah dan meletakkan pijakan kepemimpinan keislaman yang kuat di Bima. Hubungannya dengan Makassar sangat dekat sebagai kelanjutan dari koalisi dua kerajaan Islam Bima-Goa. Sehingga dia tidak keberatan dengan adanya perkawinan politik dengan memperistrikan Karaeng Ponto Je'ne adik kandung dari Sultan Goa, Hasanuddin.
Di era Sultan kedua inilah prosesi adat U'A PUA dilahirkan sebagai bentuk penghormatan pada kemuliaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, peringatan masuknya Islam di Bima dan menghormati alim ulama yang berjasa menyebarkan Islam di Bima. Kalau di Jawa adalah Suro-an, yang masih diperingati hingga saat ini sebagai kelanjutan dari prosesi budaya.
Kepemimpinan Abdul Khair juga mengukuhkan keberadaan Majelis Hadat yaitu majelis peradilan Islam Bima, penyempurnaan struktur "Majelis Sara Dana Mbojo", "Sara Hukum", "Sara Tua" dst, sebagai salah satu bentuk penerapan hukum Islam+budaya lokal terbaik dalam sejarah kerajaan-kerajaan Islam Nusantara.
Kenapa dipandang sebagai yang terbaik, karena keberadaan lembaga hukum ini menunjukkan tidak mutlaknya kekuasaan raja, dimana dibentuk lembaga yang dipimpin oleh tokoh agama dan tokoh adat (bukan tokoh militer sebagaimana kekuasaan - kekuasaan Jawa) untuk menyelesaikan setiap urusan masyarakat. Raja Bima melakukan distribusi kekuasaan pada lembaga lain yang setara, meskipun setiap saat dia bisa intervensi namun hal ini sudah cukup baik pada konteks jaman yang penuh unsur feodalisme.
Bima Konfrontasi dengan VOC
VOC alias Verenidge Indische of Company merupakan sebuah sindikat dagang raksasa dari Belanda. Serikat dagang ini melengkapi dirinya dengan prajurit bersenjatakan meriam dan senapan api, disokong oleh kerajaan Ratu Wilhelmina yang agung dan restui gereja.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar