Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa proses peralihan kekuasaan dari sistem Ncuhi ke sistem Kerajaan, sama sekali tidak menimbulkan konflik di Mbojo. Tidak ada perang, perebutan pengaruh, pembunuhan sebagaimana yang terjadi beberapa abad sesudahnya. Malah dikisahkan, kedatangan Sang Bima mendapatkan 'kalungan bunga" dari para Ncuhi, disambut dengan prosesi yang sakral, penuh rasa kekeluargaan dan memandang kedatangan darah biru itu sebagai pemimpin masa depan dou Mbojo.
Ada beberapa hal yang bisa kita simbulkan dari sejumlah keterangan sejarah tentang proses awal penyatuan dua budaya dan tata kekuasaan ini.
Pertama, sang Bima (yang kemudian diabadikan menjadi nama daerah bagi Mbojo atau Babuju) adalah sosok nyata dan figur yang benar-benar hidup, bukanlah legenda dongeng sebagaimana banyak nama-nama dalam kitab sejarah Bima (leluhur Bima yang konon makhluk langitan). sang Bima adalah manusia biasa yang datang dari Jawa dan dia jelas merupakan orang hebat, kaya dan sangat paham kekuasaan.
Kedua, Sang Bima jelas tidak serta merta datang ke Mbojo langsung disambut menjadi raja besar yang boleh berkuasa atas negeri yang juga sudah tua ini. Bisa jadi Bima sebelumnya sudah datang dan atau mengirim utusan untuk menjalin komunikasi dengan penguasa-penguasa adat Mbojo (Ncuhi), mewartakan bahwa ada sosok Dewa atau orang hebat dari negeri seberang yang akan diutus oleh Dewata untuk memajukan negeri Bima. Kemajuan peradaban Jawa yang memang mendunia sangat memungkinkan untuk menjalin komunikasi yang kuat dengan negeri-negeri jauh di timur dan tenggara. Apalagi Jawa di masa-masa lampau sudah memiliki kekuasaan besar yang melakukan integrasi ke hampir seluruh Pulau-pulau Nusantara sehingga proses penyatuan kekuasaan sangat memungkinkan berjalan mulus.
Jadi, Sang Bima datang dalam situasi Mbojo sudah terkondisikan, sebagai daerah yang memang akan dibangun dengan cara baru sistem baru. Sehingga proses kedatangan Bima digambarkan penuh dengan tetabuhan genderang, perayaan dan proses yang amat mistik di dermaga Bima (Asa Kota). Mungkin hal yang ikut mempermudah proses pendirian kerajaan Bima oleh 'pendatang asing' ini adalah tata kekuasaa para Ncuhi yang tidak integral, artinya kekuasaan Ncuhi lebih pada kekuasaan adat yang otonom pada wilayah-wilayah tertentu dan belum tersatukan pada konsep kekuasaan Bima Raya. Misalnya ada nama Ncuhi Wera, Ncuhi Bolo, Ncuhi Dara, Ncuhi Ngali, Ncuhi Langgudu, Ncuhi Sape dan lain sebagainya. Sehingga ketika datang gagasan persatuan, dengan tetap mempertahankan otonomi kekuasaan Ncuhi pada sistem adat Mbojo maka tidak akan ada keberatan apalagi pemberontakan. Apalagi Bima konon datang tidak hanya membawa cerita dan legenda kebesaran negeri kayangan yang mengutus dirinya menjadi pengatur Mbojo, juga membawa emas dan harta benda yang besar. Seandainya BO kita pandang akurat dalam indetifikasi sejarahnya, bisa jadi beberapa bagian dari harta Majapahit diamankan di Bima ketika Majapahit dirundung konflik internal.
Ketiga, para Ncuhi yang selama ini memiliki kekuasaan dan otoritas adat yang diakui rakyat, menyambut kedatangan Bima dengan tangan terbuka dan bersahabat serta memberikan mandat politik kepadanya untuk segera membangun tata praja. Lalu kemudian Ncuhi sendiri tetap memiliki wibawa kekuasaan sebagai tokoh adat yang dihormati rakyat dan diyakini sakral. Sakralisasi Ncuhi di Bima memang tidak main-main. Di desa-desa pedalaman dahulu meyakini bahwa bencana alam, kebakaran dan lain-lainnya adalah karena dampak dari kemarahan Ncuhi dan semua itu bisa diatasi dengan pertolongan kebaikan hati para Ncuhi. Jadi Ncuhi lebih terindetifikasi sebagai tokoh adat Bima yang menjadi pelindung spritual bagi desa-desa. Figurnya berada antara nyata dan tak nyata. Lama kelamaan ketika pemerintahan semakin erat dengan sistem kerajaan, banyak tentara dan perang maka kefiguran Ncuhi berangsur-angsur pudar dari realita yang berarti fisik -Ncuhi lebih identik dengan makhluk halus yang bisa terbang, sakti dan tidak kasat mata.
Semakin samar-samarnya sosok Ncuhi dari realitas kehidupan orang Bima juga lebih dikarenakan semakin kuat dan modernnya penerapan sistem Kerajaan, dimana tata praja menciptakan strukturnya mulai dari istana hingga desa-desa, Galarang dan sebagainya. Sehingga rakyat pada umumnya secara riil lebih taat pada kepala desa dan raja karena memang kekuasaan memiliki tentara, senjata dan aturan yang wajib ditaati dengan rutin dan jelas. Sementara Ncuhi adalah sebuah sistem lama yang lebih pada rasa saling percaya, saling menghargai dan bisa dibilang yang digunakan adalah sistem lisan, jelas semakin ditinggalkan. Ncuhi semakin tersisih di arena nyata dan lama-lama menghilang turun temurun menyisakan cerita dan legenda yang semuanya identik dengan kegaiban...
Keempat, Sang Bima begitu sudah berada di Bima tidak langsung menjadi raja. Dia memperkuat komunikasi dan merancang sistem praja berdasarkan hirarki dan struktur kerajaan - kerajaan di Jawa. Dan ternyata Bima sendiri tidak berambisi menjadi raja, dia menunjuk putra pertamanya, Indera Zamrud menjadi raja pertama Bima, maka mulailah Mbojo dalam sistem kekuasaan Kerajaan yang menandai era berakhirnya kekuasaan Ncuhi.
Kelima, Bima tidak terlalu mengenal Hindu sebagaimana agama resmi kekuasaan - kekuasaan besar Jawa pada jama itu. Tidak banyak situs peninggalan Hindu di Bima, yang berarti misi pelayaran sang Bima dengan menjadikan anaknya menjadi raja Pertama Bima lebih pada orientasi kekuasaan dan pembangunan. Seandainya kerajaan Bima menjadikan Hindu sebagai agama resmi kerajaan bisa jadi Bima memiliki kultur yang amat lekat dengan Hindu, sementara kita ketahui Bima sama sekali tidak identik dengan Hindu dan tidak banyak peninggalan kerajaan Bima yang bernuansa Hindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar